"Bermula dari Kelas 9" CERITA FIKSI DAN JUGA SOAL ESSAYNYA

Namaku Nara. Di atas kertas, aku cuma siswa kelas 9 biasa. Duduk di bangku belakang, sering mikirin hal-hal aneh pas guru lagi jelasin, dan suka nyimpen ide-ide liar di kepala yang jarang aku beraniin buat ucapin. Tapi di balik semua itu, aku punya mimpi yang bikin aku sering susah tidur: suatu hari nanti, aku pengen jadi Menteri Pendidikan. Mungkin kedengarannya ketinggian. Tapi aku pernah baca satu kutipan, “Kalau mimpi lu nggak bikin orang ketawa, berarti itu belum cukup besar.” Dan aku? Aku pengen jadi orang yang bener-bener bisa ngubah sekolah—bukan cuma isi kurikulumnya, tapi cara kita semua mikir soal pendidikan. Semua mulai berubah di hari itu, pas pelajaran PPKn. Bu guru nanya, “Kalau kalian bisa mengubah satu hal dari sistem pendidikan sekarang, kalian mau ubah apa?” Hampir semua temanku jawab soal tugas yang terlalu banyak, atau aturan seragam yang kaku. Tapi aku? Aku angkat tangan dan bilang, “Aku mau ubah cara guru memperlakukan murid—bukan cuma sebagai penerima pelajaran, tapi sebagai manusia utuh yang punya suara dan mimpi.”

Kelas hening. Temen-temen melongo. Bu guru pun cuma tersenyum kecil dan lanjut ke siswa lain. Tapi sejak hari itu, aku merasa satu hal: aku harus seriusin ini. Aku mulai nyari tahu tentang sistem pendidikan Finlandia, Norwegia, juga konsep pendidikan humanis yang pernah dipake Ki Hajar Dewantara. Malam-malam, aku nonton video pidato dari menteri muda negara lain, nyimak tiap kata yang mereka ucapkan. Di sela belajar buat ujian kelulusan, aku nyelipin waktu buat latihan public speaking, baca esai, bahkan kadang nulis visi pendidikanku sendiri di notes HP. Beberapa temen sempat ngeledek aku, “Ngimpi jadi menteri? Gila lo.” Tapi aku tahu, semua perubahan besar memang sering dimulai dari mimpi yang dianggap kecil, bahkan konyol.

Suatu malam, pas rumah sepi dan hanya ditemani suara kipas angin dan detik jam dinding, aku tulis satu kalimat besar di dinding kamarku: “Aku nggak pengen jadi biasa-biasa aja.” Itu bukan tentang pengakuan. Bukan juga soal jabatan. Tapi tentang dampak. Aku pengen jadi orang yang bisa bikin anak-anak seusiaku percaya bahwa sekolah itu bukan tempat buat sekadar duduk diam, tapi tempat buat tumbuh. Mimpi ini belum jadi kenyataan. Tapi sejak aku nulis visi itu dan berani mulai belajar dari sekarang, aku tahu: langkah kecil di kelas 9 ini, bisa jadi awal dari sesuatu yang besar.

Pertanyaan Uraian


1. Jelaskan proses yang kamu lakukan dalam menyusun karya fiksi tersebut!

Saya memulai dengan menentukan ide cerita tentang siswa yang bercita-cita menjadi Menteri Pendidikan. Setelah itu, saya menyusun alur sederhana, lalu mulai menulis berdasarkan kerangka tersebut. Setelah selesai, saya membaca ulang untuk memastikan ceritanya enak dibaca, kemudian saya publikasikan di blog.

2. Apa tantangan yang kamu hadapi saat menulis cerita fiksimu? Bagaimana kamu mengatasinya?

Tantangan saya adalah membuat cerita terasa nyata meskipun fiksi. Saya mengatasinya dengan menulis dari sudut pandang yang dekat dengan pengalaman pribadi, sehingga lebih jujur dan mengalir.

3. Mengapa kamu memilih tema cerita yang kamu angkat dalam tulisanmu?

Karena saya peduli dengan dunia pendidikan dan memiliki mimpi yang berhubungan dengan itu. Saya ingin menyampaikan bahwa anak muda juga bisa punya cita-cita besar.

4. Apa pesan moral atau nilai yang ingin kamu sampaikan melalui cerita tersebut?

Pesan saya adalah bahwa tidak ada mimpi yang terlalu tinggi jika kita mau berusaha dan percaya pada diri sendiri.

5. Bagaimana pendapatmu tentang mempublikasikan karya tulis di blog? Apa manfaat yang kamu rasakan?

Menurut saya, mempublikasikan di blog membuat saya lebih percaya diri dan semangat menulis. Selain itu, karya saya bisa dibaca lebih banyak orang.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Johan Liebert's Philosophy: The Enigma of Evil and Human Nature

Mencapai Kecerdasan dan Cara Berpikir Seperti Ayanokoji Kiyotaka

Anak-Anak dan Hak yang Tersepelekan: Masa Depan Bangsa yang Terabaikan